1. Candi Borobudur
Candi Budha ini memiliki 1460 relief
dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Borobudur
dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno,
keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya
mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah
tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa
awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah
gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain
mengatakan Borobudur berarti biara yang
terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden
berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5
meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan.
Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya
berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang
menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan
manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat
sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur,
disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat
tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat
membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat
tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya
dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu,
melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian
paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha
bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki
relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan
terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu
masuk candi). Pada reliefnya Borobudur
bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain
itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu.
Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan
sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari
kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya,
candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari
ajaran Budha.
2.
Candi
Tara/Candi Kalasan
Banyak orang selalu menyebut Borobudur saat membicarakan bangunan candi Budha.
Padahal, ada banyak candi bercorak Budha yang terdapat di Yogyakarta, salah
satu yang berkaitan erat dengan Borobudur
adalah Candi Tara. Candi yang terletak di Kalibening, Kalasan ini dibangun oleh
konseptor yang sama dengan Borobudur, yaitu
Rakai Panangkaran. Karena letaknya di daerah Kalasan, maka candi ini lebih
dikenal dengan nama Candi Kalasan.
Selesai dibangun pada tahun 778 M,
Candi Tara menjadi candi Budha tertua di Yogyakarta.
Candi yang berdiri tak jauh dari Jalan Yogya Solo ini dibangun sebagai
penghargaan atas perkawinan Pancapana dari Dinasti Sanjaya dengan Dyah Pramudya
Wardhani dari Dinasti Syailendra. Selain sebagai hadiah perkawinan, candi itu
juga merupakan tanggapan usulan para raja untuk membangun satu lagi bangunan
suci bagi Dewi Tara dan biara bagi para pendeta.
Candi Tara adalah bangunan berbentuk
dasar bujur sangkar dengan setiap sisi berukuran 45 meter dan tinggi 34 meter.
Bangunan candi secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki candi,
tubuh candi dan atap candi. Bagian kaki candi adalah sebuah bangunan yang
berdiri di alas batu berbentuk bujur sangkar dan sebuah batu lebar. Pada
bagian itu terdapat tangga dengan hiasan makara di ujungnya. Sementara, di
sekeliling kaki candi terdapat hiasan sulur-suluran yang keluar dari sebuah
pot.
Tubuh
candi memiliki penampilan yang menjorok keluar di sisi tengahnya. Di bagian permukaan luar tubuh candi
terdapat relung yang dihiasi sosok dewa yang memegang bunga teratai dengan
posisi berdiri. Bagian tenggaranya memiliki sebuah bilik yang di dalamnya
terdapat singgasana bersandaran yang dihiasi motif singa yang berdiri di atas
punggung gajah. Bilik tersebut dapat dimasuki dari bilik penampil yang terdapat
di sisi timur.
Bagian atap candi berbentuk segi
delapan dan terdiri dari dua tingkat. Sebuah arca yang melukiskan manusia Budha
terdapat pada tingkat pertama sementara pada tingkat kedua terdapat arca yang
melukiskan Yani Budha. Bagian puncak candi berupa bujur sangkar yang
melambangkan Kemuncak Semeru dengan hiasan stupa-stupa. Pada bagian perbatasan
tubuh candi dengan atap candi terdapat hiasan bunga makhluk khayangan berbadan
kerdil disebut Gana.
Banyak terdapat relief-relief cantik
pada permukaannya. Misalnya relief pohon dewata dan awan beserta penghuni
khayangan yang tengah memainkan bunyi-bunyian. Para
penghuni khayangan itu membawa rebab, kerang dan camara. Ada pula gambaran kuncup bunga, dedaunan dan
sulur-suluran. Relief di Candi Tara memiliki
kekhasan karena dilapisi dengan semen kuno yang disebut Brajalepha, terbuat
dari getah pohon tertentu.
Di sekeliling candi terdapat
stupa-stupa dengan tinggi sekitar 4,6 m berjumlah 52 buah. Meski stupa-stupa
itu tak lagi utuh karena bagiannya sudah tak mungkin dirangkai utuh, anda masih
bisa menikmatinya. Mengunjungi candi yang sejarah berdirinya diketahui
berdasarkan Prasasti Candi yang berhuruf Panagari ini, anda akan semakin
mengakui kehebatan Rakai Panangkaran yang bahkan sempat membangun bangunan suci
di Thailand.
Candi ini juga menjadi bukti bahwa
pada masa lalu telah ada upaya untuk merukunkan pemeluk agama satu dengan yang
lain. Terbukti, Panangkaran yang beragama Hindu membangun Candi Tara atas usulan para pendeta Budha dan dipersembahkan
bagi Pancapana yang juga beragama Budha. Candi ini pulalah yang menjadi salah
satu bangunan suci yang menginspirasi Atisha, seorang Budhis asal India yang pernah mengunjungi Borobudur dan
menyebarkan Budha ke Tibet.
3.
Candi Prambanan
Candi Prambanan adalah bangunan luar
biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai
Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi
dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini
telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa.
Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman
indah.
Ada sebuah legenda yang selalu
diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung
Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta
Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir
terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api
besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat
membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena
merasa dicurangi.
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama
di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut
adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke
timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat,
yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain
itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara,
halaman kedua memiliki 224 candi.
Memasuki candi
Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4
buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang
lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan
Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro
Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.
Di Candi Wisnu
yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu
ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di
sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi
arca Brahma.
Candi pendamping
yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu.
Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama
Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas,
berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang.
Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti
'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi
Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa
menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat)
dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).
Kemampuan
menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan
untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara.
Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara
lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan
alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand,
Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.
Prambanan juga memiliki relief candi
yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita
Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah
pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan,
kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru
digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli
menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola
lingkungannya.
Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru
kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia,
Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa
ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian
lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu
juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian
wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan
telah mendunia.
4.
Candi
Gampingan
Tak semua candi memiliki
relief cantik yang khas sebab umumnya hanya dihias oleh arca dan relief umum
yang terdapat hampir di semua candi. Salah satu yang memiliki relief cantik
yang khas itu adalah Candi Gampingan, sebuah candi yang ditemukan secara tak
sengaja oleh pengrajin batu bata di Dusun Gampingan, Piyungan, Bantul pada
tahun 1995. Meski ukurannya kecil dan sudah tak utuh lagi, Candi Gampingan
masih kaya akan relief yang mempesona.
Salah satu relief cantik
yang bisa dijumpai di candi ini adalah relief hewan yang ada di kaki candi.
Relief hewan di Gampingan begitu natural hingga bisa diketahui jenis hewan yang
digambarkan. Cukup jarang candi yang memiliki relief demikian, setidaknya hanya
Candi Prambanan dan Mendut yang dikenal memiliki relief serupa. Semua relief
itu dihias dengan latar sulur-suluran, yaitu padmamula (akar
tanaman teratai) yang diyakini sebagai sumber kehidupan.
Saat YogYES berkeliling,
tampak jenis hewan yang mendominasi adalah burung. Terdapat relief burung gagak
yang tampak memiliki paruh besar, tubuh kokoh, sayap mengembang ke atas dan
ekor berbentuk kipas. Ada
pula relief burung pelatuk yang digambarkan memiliki jambul di atas kepala, paruh
yang agak panjang dan runcing serta sayap yang tidak mengembang. Selain itu,
ada juga ayam jantan yang memiliki dada membusung dan sayap mengembang ke
bawah.
Pembuatan relief burung
dalam jumlah banyak di candi ini berkaitan keyakinan masyarakat saat itu
terhadap kekuatan transedental burung. Diyakini, burung merupakan
perwujudan para dewa sekaligus pembawa pesan dari alam para dewa atau nirwana.
Burung juga berkaitan dengan kebebasan absolut manusia yang dicapai setelah
berhasil meninggalkan kehidupan duniawi, lambang jiwa manusia yang lepas dari
raganya.
Relief hewan lain yang
juga banyak digambarkan adalah katak. Masyarakat saat itu percaya bahwa katak
memiliki kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan, sehingga katak juga
dipercayai mampu meningkatkan produktivitas, karena air hujan yang didatangkan
katak bisa meningkatkan hasil panen. Katak yang sering muncul dari air juga
melambangkan pembaharuan kehidupan dan kebangkitan menuju arah yang lebih baik.
Hingga kini, relief itu
masih menyisakan pertanyaan, apakah sebuah fabel (cerita hewan yang
didongengkan pada anak-anak) seperti di Candi Mendut atau gambaran hewan yang
sengaja dibuat untuk menunjukkan maksud tertentu. Pertanyaan itu muncul sebab
gambaran hewan seperti di Candi Gampingan tak ditemukan dalam kitab yang memuat
fabel, seperti Jataka, Sukasaptati, Pancatantra dan versi turunannya.
Candi Gampingan yang
diperkirakan dibangun antara tahun 730 - 850 M diyakini merupakan tempat
pemujaan Dewa Jambhala (Dewa Rejeki, anak Dewa Siwa). Hal itu didasari
oleh penemuan Arca Jambhala ketika penggalian. Jambhala digambarkan sedang
dalam keadaan semedi, tubuhnya duduk bersila sementara matanya terpejam. Bagian
tubuhnya dihiasi oleh unsur ikonografis (asana) berupa bunga teratai
yang memiliki daun berjumlah 8 helai sebagai lambang cakra dalam tubuh manusia.
Figur Jambhala di candi ini berbeda dengan yang ada di candi lainnya.
Umumnya, Jambhala di candi lain digambarkan dengan mata lebar yang menatap ke
arah pemujanya disertai dengan beragam hiasan yang melambangkan kemakmuran dan
kemewahan. Diyakini, penggambaran berbeda ini didasari oleh motivasi pemujaan,
bukan untuk memohon kemakmuran tetapi bimbingan agar dapat mencapai kebahagiaan
sejati.
Mengunjungi Candi Gampingan akan membawa kita merenungkan kembali
tentang jalan yang sudah kita tempuh untuk menuju kebahagiaan dan
kesejahteraan. Relief yang didominasi bentuk hewan yang hidup di alam
sekitarnya bisa jadi merupakan wujud kearifan masyarakat setempat pada jaman
itu dalam merepresentasikan sebuah pesan dari nirwana: untuk hidup sejahtera
dan terhindar dari bencana, manusia seharusnya menjaga keselarasan dengan alam.
5. Candi Gebang
Candi Gebang
pertama kali ditemukan oleh penduduk setempat pada bulan November 1936, berupa
sebuah Arca Ganesha. Atas dasar laporan tersebut, maka Dinas Purbakala
mengadakan penelitian, yang ternyata Arca Ganesha tersebut tidak berdiri
sendiri, tetapi merupakan suatu bagian dari sebuah bangunan. Untuk
menindaklanjuti hasil penelitian ini, maka diadakan penggalian di sekitar temuan
Arca Ganesha tersebut. Hasil yang dicapai adalah temuan berupa reruntuhan
bangunan yang terdiri dari atap candi, sebagian kecil bagian tubuh dan sebagian
kecil kaki yang masih utuh.
Dari hasil
penggalian, kemudian diadakan susunan percobaan sehingga diperoleh bentuk
konstruksi bangunan yang sebenarnya. Dengan adanya gambaran dari hasil susunan
percobaan ini, maka penyusunan kembali dapat dilaksanakan meskipun bagian tubuh
bangunan banyak menggunakan batu pengganti. Pemugaran Candi Gebang dilaksanakan
pada tahun 1937 sampai tahun 1939 yang dipimpin oleh Prof. DR. Ir. Van Romondt.
Bangunan Candi
Gebang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 5,25 x 5,25 m dan tinggi 7,75 m.
Bagian kaki mempunyai proporsi yang tinggi dan tanpa relief/polos. Candi ini
tidak mempunyai tangga masuk, atau kemungkinan tangga masuknya terbuat dari
kayu atau bahan lain yang mudah rusak sehingga sampai sekarang tidak ditemukan
kembali. Hal ini merupakan keistimewaan candi ini, dan keistimewaan yang lain
adalah pada titik pusat candi bertepatan dengan titik pusat halaman candi.
Di dalam tubuh
candi terdapat satu bilik dengan arah hadap ke timur yang didalamnya terdapat
Yoni. Di kanan kiri pintu
masuk terdapat relung dengan Arca Nandiswara, sedangkan relung yang berisi
Mahakala arcanya tidak ada. (Catatan: Ketika YogYes.com berkunjung ke Candi
Gebang pada bulan Februari 2004, Arca Nandiswara tersebut sudah tidak ada)
Relung di sisi utara dan selatan dalam keadaan kosong. Di sebelah barat
terdapat relung yang diisi dengan Arca Ganesha yang duduk di atas sebuah Yoni
dengan cerat yang menghadap ke utara. Sedangkan pada bagian puncak
terdapat Lingga yang berada di atas bantalan seroja. Bentuk Lingga hanya bagian
atas, yaitu berupa bentuk silinder. Di dalam atap juga terdapat sebuah ruangan
kecil yang berbentuk rongga di atas bilik candi sebenarnya. Di halaman
ditemukan Lingga semu (patok) yang berada di keempat sudutnya.
Latar belakang
sejarah berdirinya Candi Gebang belum diketahui secara pasti. Akan tetapi yang
jelas Candi Gebang bersifat hinduistis. Hal ini dapat diketahui dengan adanya
Lingga, Yoni, dan Arca Ganesha. Di samping itu, berdasarkan atas bentuk kaki
candi yang mempunyai proporsi tinggi ini, menunjukkan bahwa Candi Gebang
berasal dari periode tua (± 730 - 800 M). Sedangkan
menurut Van Romondt, Candi Gebang berdiri pada masa awal "Jawa
Tengah".
6. Candi Ijo
Menyusuri
jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan
yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak,
bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya
yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang
letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Candi Ijo
dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau
atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena
ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga
pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian
dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam
di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.
Kompleks candi
terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras
pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang
membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling,
delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi
perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya.
Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.
Ragam bentuk seni
rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat
di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa
atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada
candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan
Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara
lain Ngawen, Plaosan dan Sari.
Ada pula arca
yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah
pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama,
sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa
Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam
semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di
Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.
Menuju bangunan
candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api
pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat
lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga.
Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja
Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu
Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.
Salah satu karya
yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi
pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau
Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran
tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa
kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca
adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti
tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah
peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.
Mengunjungi candi
ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi
lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat
pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa
dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian
timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara
Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.
Setiap detail
candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk
berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang.
Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan
pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral
yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya
seninya.
7. Candi Kedulan.
Candi Kedulan
adalah sebuah candi bercorak Hindu yang terdapat di Dusun Kedulan, kurang lebih
3 kilometer dari Candi Kalasan. Candi ini ditemukan secara tak sengaja oleh
para penambang pasir pada 24 November 1993. Kesenangan yang berbeda akan
didapatkan bila mengunjungi candi ini, sebab anda bisa menikmati proses
rekonstruksi candi yang sangatlah rumit.
Lokasi penggalian
sedalam 7 meter akan langsung ditemui begitu tiba di kompleks candi ini. Lokasi
penggalian itu berisi batu-batu candi yang tersebar ke segala penjuru dan
bagian kaki candi induk yang tampak masih menyatu. Di lokasi penggalian inilah
kompleks Candi Kedulan yang terdiri dari 1 candi induk dan 3 candi perwara
(pendamping) semula berdiri. Kini, bagian kaki candi induk tengah diuji
kekokohannya agar dapat ditumpangi batu-batu lain pada tahap selanjutnya.
Mengelilingi
daerah sekitar lokasi penggalian, akan dijumpai batu-batu candi yang tengah
direkonstruksi dengan cara mencocokkan batu satu dengan batu lainnya. Batu yang
telah berhasil dicocokkan diberi simbol-simbol tertentu yang ditulis
menggunakan kapur. Tampak konstruksi sementara bangunan pagar pembatas selasar
candi, atap, bilik candi dan beberapa bagian tubuh candi lainnya. Terlihat pula
lingga dan yoni yang diduga merupakan komponen yang mengisi bilik candi.
Beberapa ornamen
yang menghias candi sudah bisa dinikmati keindahannya walau candinya sendiri
masih dalam tahap rekonstruksi. Misalnya, relief naga di bawah yoni yang
diperkirakan mengisi bilik utama candi induk, figurnya berbeda dengan naga
penghias yoni candi di Jawa Tengah lainnya sebab terlihat memiliki rahang.
Terdapat pula relief dewa di beberapa bagian dinding candi, hiasan
sulur-suluran, roset, serta relief motif batik.
Selesai berkeliling,
YogYES sempat berbincang dengan salah seorang staf bernama Haryono. Ia
bercerita betapa sulitnya menyusun kembali bangunan yang telah runtuh itu. Ada
ratusan batu yang harus dicocokkan agar candi bisa berdiri lagi, padahal untuk
mencocokkannya tak ada petunjuk sama sekali. Saking sulitnya, seorang
pekerja kadang hanya mampu mencocokkan satu batu dengan satu batu lainnya dalam
kurun waktu seminggu. Betul, bagaikan menyusun sebuah puzzle raksasa.
Kalau memasuki
ruang informasi di sebelah lokasi penggalian, anda bisa mengetahui perkiraan
rancangan Candi Kedulan. Dari hasil diperkirakan, candi induk memiliki tinggi 8
meter, terbagi menjadi bagian kaki, tubuh dan atap. Tubuh candi terdiri dari 10
lapis batu dengan tinggi 2,4 meter, memiliki beberapa relung yang berisi arca
Ganesha (anak Dewa Siwa), Agastya, Durga (isteri Dewa Siwa), Nandaka dan
Nandiswara (kendaraan Dewi Durga), serta mempunyai selasar sempit yang diduga
hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Atap candi terdiri atas 13 lapis batu
andesit. Dari keterangan diatas bisa diperkirakan bahwa arsitekturnya secara
keseluruhan mirip dengan Candi Sambisari.
Di ruang
informasi itu pula, anda bisa melihat puing-puing puing-puing mangkuk berhias
dan barang gerabah yang diduga digunakan dalam ritual peribadatan di candi ini.
Selain itu, ada juga kayu-kayu yang berasal dari pepohonan yang tumbuh semasa
candi ini berdiri. Haryono bercerita pada YogYES bahwa salah satu serpihan kayu
pohon itu pernah dibawa seseorang untuk diukir, namun dikembalikan lagi sebab
orang yang membawanya justru mengalami petaka.
Beberapa foto
benda-benda lain yang ditemukan selama penggalian juga bisa dilihat di ruang
informasi. Ada foto arca dewa berbahan perunggu dan foto prasasti
Pananggaran dan Sumudul yang ditemukan pada tahun 2003. Pada dinding ruangan,
terdapat gambaran lapisan tanah tempat batu-batu candi ditemukan, serta
foto-foto yang menggambarkan proses penggalian yang berlangsung selama
bertahun-tahun.
Pada 12 Juni
2003, ditemukan 2 buah prasasti di lokasi penggalian. Prasasti yang ditulis
dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut sudah berhasil dibaca oleh
dua epigraf dari Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yaitu Dr
Riboet Darmoseotopo dan Tjahjono Prasodjo MA. Berangka tahun 791 Saka (869
Masehi, atau sekitar 10 tahun setelah candi Prambanan berdiri), isinya tentang
pembebasan pajak tanah di Desa Pananggaran dan Parhyangan, pembuatan bendungan
untuk irigasi, pendirian bangunan suci bernama Tiwaharyyan serta ancaman
kutukan bagi siapapun yang tidak mematuhi aturan.
Beberapa arkeolog
menduga bahwa prasasti tersebut berkaitan dengan pendirian Candi Kedulan.
Bangunan suci Tiwaharyyan diduga merupakan Candi Kedulan itu sendiri. Desa
Pananggaran yang diceritakan pada prasasti diduga berada di wilayah sekitar
candi, begitu pula bendungan yang dimaksud. Namun sampai kini belum ditemukan
jejak bendungan kuno yang dimaksud. Mungkin bendungan itu dibangun di Sungai Opak yang
berjarak ±4 km dari lokasi candi, atau mungkin juga di sungai yang kini sudah
tidak ada lagi karena tertutup lahar letusan Gunung Merapi seribu tahun silam.
Banyaknya teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan
beserta pesona komponen candi menjadikan berwisata ke Candi Kedulan menarik
untuk dilakukan. Kondisi candi yang masih dalam tahap rekonstruksi justru
menambah kesenangan ketika mengunjunginya.
8.
Candi Mendut
Candi Mendut terletak 3 km ke arah timur dari Candi Borobudur, merupakan
candi Budha yang dibangun tahun 824 Masehi oleh Raja Indera dari wangsa
Syailendra. Di dalam Candi Mendut terdapat 3 (tiga) patung besar.
1. Cakyamuni yang sedang duduk bersila dengan
posisi tangan memutar roda dharma.
2. Awalokiteswara sebagai Bodhi Satwa
membantu umat manusia
Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.
Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.
3. Maitreya sebagai penyelamat manusia di
masa depan
Ada cerita untuk anak-anak pada dinding-dindingnya. Candi ini sering
dipergunakan untuk merayakan upacara Waisak setiap Mei pada malam bulan purnama
dan dikunjungi para peziarah dari Indonesia maupun manca negara.
Candi ini lebih tua dari Candi Borobudur. Arsitekturnya persegi empat dan
mempunyai pintu masuk di atas tangganya. Atapnya juga persegi empat dan bertingkat-tingkat, ada stupa di atasnya.
9.
Candi Plaosan
Candi Plaosan, adalah sebuah candi yang dibangun oleh Rakai Pikatan untuk
permaisurinya, Pramudyawardani. Terletak di Dusun Bugisan Kecamatan Prambanan,
arsitektur candi ini merupakan perpaduan Hindu dan Budha.
Kompleks Plaosan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Candi Plaosan Lor dan
Candi Plaosan Kidul. Kedua candi itu memiliki teras berbentuk segi empat yang
dikelilingi oleh dinding, tempat semedi berbentuk gardu di bagian barat serta
stupa di sisi lainnya. Karena kesamaan itu, maka kenampakan Candi Plaosan Lor
dan Kidul hampir serupa jika dilihat dari jauh sehingga sampai sekarang Candi
Plaosan juga sering disebut candi kembar.
Bangunan Candi Plaosan Lor memiliki halaman tengah yang dikelilingi oleh
dinding dengan pintu masuk di sebelah barat. Pada bagian tengah halaman itu
terdapat pendopo berukuran 21,62 m x 19 m. Pada bagian timur pendopo terdapat 3
buah altar, yaitu altar utara, timur dan selatan. Gambaran Amitbha,
Ratnasambhava, Vairochana, dan Aksobya terdapat di altar timur. Stupa
Samantabadhara dan figur Ksitigarbha ada di altar utara, sementara gambaran
Manjusri terdapat di altar barat.
Candi Plaosan Kidul juga memiliki pendopo di bagian tengah yang dikelilingi
8 candi kecil yang terbagi menjadi 2 tingkat dan tiap-tiap tingkat terdiri dari
4 candi. Ada pula gambaran Tathagata Amitbha, Vajrapani dengan atribut vajra
pada utpala serta Prajnaparamita yang dianggap sebagai "ibu dari semua
Budha". Beberapa gambar lain masih bisa dijumpai namun tidak pada tempat
yang asli. Figur Manujri yang menurut seorang ilmuwan Belanda bernama Krom
cukup signifikan juga bisa dijumpai.
Bagian Bas relief candi ini memiliki gambaran unik pria dan wanita.
Terdapat seorang pria yang digambarkan tengah duduk bersila dengan tangan
menyembah serta figur pria dengan tangan vara mudra dan vas di kaki yang
dikelilingi enam pria yang lebih kecil. Seorang wanita ada yang digambarkan
sedang berdiri dengan tangan vara mudra, sementara di sekelilingnya terdapat
buku, pallet dan vas. Krom berpendapat bahwa figur pria wanita itu adalah
gambaran patron supporter dari dua wihara.
Seluruh kompleks Candi Plaosan memiliki 116 stupa perwara dan 50 candi
perwara. Stupa perwara bisa dilihat di semua sisi candi utama, demikian pula
candi perwara yang ukurannya lebih kecil. Bila berjalan ke bagian utara, anda
bisa melihat bangunan terbuka yang disebut Mandapa. Dua buah prasati juga bisa
ditemui, yaitu prasasti yang di atas keping emas di sebelah utara candi utama
dan prasasti yang ditulis di atas batu di Candi Perwara baris pertama.
Salah satu kekhasan Candi Plaosan adalah permukaan teras yang halus. Krom
berpendapat teras candi ini berbeda dengan teras candi lain yang dibangun di
masa yang sama. Menurutnya, hal itu terkait dengan fungsi candi kala itu yang
diduga untuk menyimpan teks-teks kanonik milik para pendeta Budha. Dugaan lain
yang berasal dari para ilmuwan Belanda, jika jumlah pendeta di wilayah itu
sedikit maka mungkin teras itu digunakan sebagai sebuah wihara (tempat ibadah
umat Budha).
Jika melihat sekeliling candi, anda akan tahu bahwa Candi Plaosan
sebenarnya merupakan kompleks candi yang luas. Hal itu dapat dilihat dari
adanya pagar keliling sepanjang 460 m dari utara ke selatan serta 290 m dari
barat ke timur, juga interior pagar yang terdiri atas parit sepanjang 440 m
dari utara ke selatan dan 270 m dari barat ke timur. Parit yang menyusun bagian
interior pagar itu bisa dilihat dengan berjalan ke arah timur melewati sisi
tengah bangunan bersejarah ini.
10. Candi Pawon
Candi Pawon terletak 1,5 km ke arah barat dari Candi Mendut dan ke arah
timur dari Candi Borobudur, juga merupakan sebuah candi Budha. Saat diteliti
secara lengkap pada reliefnya, ternyata merupakan permulaan relief Candi
Borobudur.
Banyak orang mengira Candi Pawon merupakan sebuah makam, namun setelah
diteliti ternyata merupakan tempat untuk menyimpan senjata Raja Indera yang
bernama Vajranala. Candi ini terbuat dari batu gunung berapi. Ditinjau
dari seni bangunannya merupakan gabungan seni bangunan Hindu Jawa kuno dan
India. Candi Pawon terletak tepat di sumbu garis yang menghubungkan Candi
Borobudur dan Candi Mendut.
Kemungkinan candi ini dibangun untuk kubera. Candi ini berada
di atas teras dan tangga yang agak lebar. Semua bagian-bagiannya dihiasi dengan
stupa (dagoba) dan dinding-dinding luarnya dengan gambar-gambar
simbolis.
11.
Candi
Sewu.
Kompleks Candi Sewu
terletak di kawasan Candi
Prambanan Temple,
sekitar 800 meters menuju Candi Rara Jongrang Temples. Candi Sewu merupakan
candi Budha kedua terbesar di Jawa Tengah setelah Candi Borobudur. Fakta bahwa
candi ini bangun di kawasan Candi Prambanan merupakan bukti bahwa pada saat itu
umat Hindu dan Budha hidup dalam keselarasan dan keharmonisan.
Konon, untuk menjadi sebuah candi kerajaan merupakan salah satu kegiatan utama di masa lalu. Berdasarkan prasasti yang dibangun pada tahun 792 SM yang ditemukan pada tahun 1960, nama kompleks candi tersebut diperkirakan "Manjus’rigrha" (Rumah Manjusri). Manjusri merupakan salah satu Boddhisatva dalam ajaran Budha. Candi Sewu kemungkinan dibangun pada abad ke-8 pada akhir pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 SM – 784 SM) merupakan salah satu raja yang populer pada kerajaan Mataram kuno. Candi ini pertama kali diteliti oleh HC Cornellius pada tahun 1807. Penelitian akrkeologi pertama dilakukan oleh NJ Krom pada tahun 1923.
Konon, untuk menjadi sebuah candi kerajaan merupakan salah satu kegiatan utama di masa lalu. Berdasarkan prasasti yang dibangun pada tahun 792 SM yang ditemukan pada tahun 1960, nama kompleks candi tersebut diperkirakan "Manjus’rigrha" (Rumah Manjusri). Manjusri merupakan salah satu Boddhisatva dalam ajaran Budha. Candi Sewu kemungkinan dibangun pada abad ke-8 pada akhir pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 SM – 784 SM) merupakan salah satu raja yang populer pada kerajaan Mataram kuno. Candi ini pertama kali diteliti oleh HC Cornellius pada tahun 1807. Penelitian akrkeologi pertama dilakukan oleh NJ Krom pada tahun 1923.
Pemugaran
besar-besaran dilakukan pada tanggal 1 April 1983 hingga tahun 1993 dengan
menelan dana sebesar 3 miliar rupiah. Kompleks Candi Sewu terdiri dari 249
candi dengan candi utama yang diapit oleh 8 candi-candi kecil dan 240 candi
"Perwara". Candi utama membentuk format poligon yang terditi dari 20
sudut dengan diameter 29 meter dan ketinggian 30 meter. Hampir seluruh struktur
candi terbuat dari batu andesit.
Candi
utama memiliki satu ruang utama dan empat ruangan kecil yang terhubung dengan
candi. Pintu timur berfungsi sebagai pintu utama menuju ruang utama. Candi
utama menghadap ke arah timur. Struktur candi memiliki 9 atap, di mana
masing-masing atap membentuk sebuah stupa pada puncaknya
12. Candi Cangkuang
Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi
inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta
merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.
Candi ini pertama
kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim
peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan
laporan Vorderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya
sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain
menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar
yang diperkirakan merupakan peninggalan jaman megalitikum. Penelitian selanjutnya
(tahun 1967 dan 1968) berhasil
menggali bangunan makam.
Walaupun hampir
bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu
jaman dengan candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya?), yang
mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di sampingnya.
Candi Cangkuang
terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur
dengan luas 16,5 ha. Pulau kecil ini terdapat di tengah danau Cangkuang pada
koordinat 106°54'36,79" Bujur Timur dan 7°06'09" Lintang Selatan.
Selain pulau yang memiliki candi, di danau ini terdapat pula dua pulau lainnya
dengan ukuran yang lebih kecil.
Lokasi danau
Cangkuang ini topografinya terdapat pada satu lembah yang subur kira-kira
600-an m l.b.l. yang dikelilingi pegunungan: Gunung Haruman (1.218 m l.b.l.)
di sebelah timur - utara, Pasir Kadaleman (681 m l.b.l.) di tenggara, Pasir
Gadung (1.841 m l.b.l.) di sebelah selatan, Gunung
Guntur (2.849 m l.b.l.) di sebelah barat-selatan, Gunung Malang
(1.329 m l.b.l.) di sebelah barat, Gunung Mandalawangi di sebelah
selatan-utara, serta Gunung Kaledong (1.249 m l.b.l.) di sebelah timur.
Bangunan Candi
Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang
diresmikan pada tahun 1978. Candi ini
berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan
tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit
kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37
m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya
1,5 m dan lébar 1,26 m.
Tubuh bangunan
candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi utara
terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak
candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m
dan 2,74 x 2,74 m yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran
2,18 x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran
0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7 m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan
menjadi stabil).
Di antara sisa-sisa bangunan candi,
ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana
ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha
kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri
terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke
depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah
arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha.
Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga.
Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya
datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8
cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm),
lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm.
Candi Cangkuang sebagaimana terlihat
sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan
aslinya hanyalah 35%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang
sebenarnya belumlah diketahui.
Candi ini berjarak sekitar 3 m di
sebelah selatan makam Arif Muhammad.
thanks kak atas infom nya :D
ReplyDeleteSama2 Utty.. ^^
ReplyDelete